Bolang Jakarta Bagian II : Museum Seni Rupa dan Museum Bank Indonesia

December 13, 2016
                Bagian I disini

***

                Setelah keluar dari Museum Fatahillah, kita berjalan keluar ke jalan raya lalu masuk lagi ke dalam Kota Tua. Tempat selanjutnya, Museum Seni Rupa dan Keramik, tepat terletak di sebelah kanan dari pintu masuk Kota Tua. Harga tiket untuk masuk kesini  sama seperti tadi, Rp5000 dewasa, Rp3000 mahasiswa dan Rp2000 pelajar. Dengan menyerahkan Rp2000 untuk tiket kategori pelajar kami pun masuk.

                Dulunya gedung ini bernama asli Gedung Raad van Justitie, gedung yang digunakan pemerintah Belanda sebagai lembaga Peradilan Tertinggi Belanda. Pasca kemerdekaan, awal-awal Orde Baru, tepatnya tahun 1967, gedung ini menjadi kantor walikota Jakarta. Sepuluh tahun berlalu, bapak Presiden Yang Mulia Soeharto mengubah fungsi gedung ini menjadi Gedung Balai Seni Rupa. Kemudian, Ali Sadikan sebagai gubernur Jakarta yang pertama menambah berbagai koleksi keramik ke dalam gedung ini. Sampai akhirnya, jadilah gedung ini sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik.

Tampak depan Museum Seni Rupa dan Keramik

                Kesan pertama yang saya dapat ketika melihat gedung Museum Seni Rupa dan Keramik adalah tampak depan darinya mirip banget sama bangunan terkenal di Athena, Yunani. Memasuki dalam gedung, terdapat 3 bagian : kiri, tengah yang utama dan kanan. Secara random, lima manusia itu memasuki bagian sebelah kanan. Bagian kanan dari pintu masuk Museum Seni Rupa dan Keramik hanya terdiri dari berbagai macam benda keramik (yang menurut Ijal, hanya bernilai karena waktunya) kuno perabotan rumah dasar bekas kecelakaan kapal Portugis. Menyusuri museum dari lorong kanan, di ujung bagian tersebut terdapat papan petunjuk bertuliskan Mushola. Karena waktu yang menunjukkan pukul 11.50-an, kita berhenti sejenak untuk penyegaran jasmani dan rohani(sholat).

                Setelah sholat, dari arah belakang kami berbelok ke arah Selatan. Di sebuah dinding terpampang tulisan “Ruang Masa Orde Baru”. Ruangan ini berisi keramik-keramik zaman Orba. Lanjut berjalan, sampai ke bagian kiri museum. Jika dari tadi koleksi keramik, sekarang saatnya melihat lukisan-lukisan bernilai tinggi.

                Lukisan-lukisan di sini, dikategorikan berdasarkan masa atau periodenya. Ruang pertama, ruang Masa Raden Saleh yang berisi karya-karya periode 1880-1890. Ruang kedua, ruang Masa Hindia Jelita (karya-karya periode 1920-an). Ketiga Ruang Persagi (1930-an). Ruang keempat, Ruang Masa Pendudukan Jepang(1942-1945). Ruang kelima, Ruang Pendirian Sanggar(1945-1950 yang di mana pada masa ini para seniman, pelukis, budayawan, dan sastrawan sering berkumpul mengadakan berbagai kegiatan dan latihan. Affandi dan S. Sudjojon, dua seniman lagendaris Indonesia lahir dari masa ini. Ruang keenam, ruang Kelahiran Akademis Realisme(1950-an). Ruang selanjutnya, periode 1955-1965, Partai Komunis Indonesia dengan Lekranya menaungi banyak pelukis pada masa itu, diantaranya Hendra Gunawan, Trubus, Djoko Pekik, Amrus Natalsya, dan Henk Ngantung. Terakhir, Ruang Seni Rupa Baru Indonesia (1960-sekarang.) Masa Akademi Seni Rupa ditandai oleh bermunculannya sekolah tinggi seni dengan berbagai jurusan. Disini terdapat tulisan yang berisikan asal mulanya Fakultas Seni Rupa dan Desain(FSRD) ITB. Jadi, pada tahun 1947 di Bandung didirikan lembaga pendidikan seni rupa yang meneriman mahasiswa sebagai calon guru gambar di bawah naungan fakultas teknik(iya kalian tidak salah dengar, fakultas teknik pencari calon guru gambar kwk). Terus, demi terwujudnya hal tersebut, pada tahun 1956 berdiri Seksi Seni Rupa yang menjadi cikal bakal Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB seperti yang kalian kenal sekarang.
Ruang Masa Orde Baru 





Seniman



Pengamat lukisan


Fotografer kita(2)





Lukisan terbaik disini menurut saya




                Berjalan keluar dari ruangan tersebut, kami ke ruang utama di tengah. Disini terpampang 3 atau 4 lukisan besar yang sangat menakjubkan sepanjang dinding ruangan.
Jakarta setelah sebuah insiden kebakaran / konflik


***
                Hape saya menunjukkan pukul 13.00 lewat, karena riuhan demonstrasi di lambung yang menuntut kesejahteraan. Kami pun keluar dari Museum Seni Rupa dan Keramik dan sejenak keluar dari Kota Tua untuk mencari makanan di sekitar jalan raya. Target pun ditemukan. Ada sebuah tempat makan terbuka di pinggi jalan raya, tepat di samping pintu keluar Barat Kota Tua. Karena ini masih lingkungan wisata, jadi saya harus menerima konsekuensi jus alpukat yang biasanya Rp7.000-Rp8.000 berharga Rp11.000 disini. Demonstrasi di daerah lambung pun berangsur-angsur mereda. Para enzim dan asam lambung menunjukkan iktikad baik untuk segera ke aktivitas normal mereka.

***

                Setelah makan, tujuan berikutnya adalah Museum Bank Indonesia. Karena kami tidak tau persisnya terletak dimana, jadi saya bertanya ke seorang petugas. Ia menunjukkan bahwa Museum BI terletak di luar Kota Tua, kita bisa berjalan kaki menuju arah belakang Museum Fatahillah sebelah kanan, menelusuri jalanan yang dipenuhi berbagai seniman Betawi, belok kanan, menyebrang jalan lalu sampai. Ada tips, dari bapak petugas tersebut, “Hati-hati ada kakek-kakek, suka ilang”. Kami pun  mengiyakan dan langsung menjalankan prosedur. Beberapa menit kemudian, sampailah di Museum Bank Indonesia.
Tampak depan Museum BI

                Museum Bank Indonesia adalah sebuah museum yang menempati area bekas gedung Bank Indonesia Kota yang merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal, dipadu dengan pengaruh lokal, dan dibangun pertama kali pada tahun 1828. Museum Bi buka setiap hari dari jam 8 pagi sampe jam setengah 4 sore, atau jam 4 sore pas weekend. Hari Senin dan libur nasional tutup. Oiya, pas hari Jumat juga akan tutup selama satu setengah jam hingga jam 1 siang dikarenakan solat Jumat. Kami sangat beruntung karena katanya besok(hari Minggu) dan lusa(maulid Nabi) sesuai aturan museum ini ditutup untuk umum. Berbekal Rp5.000 rupiah, dan menitipkan tas dan jaket kami berlima pun masuk ke dalam.

                Rute mengelilingi Museum BI adalah mulai dari sebelah kanan terus berputar ke belakang sampai akhirnya keluar dari bagian kiri museum. Yaudah, langsung aja, bagain kanan pertama adalah sebuah ruangan yang berisi teks sejarah umum dari Bank Indonesia serta 4 TV yang tersambung mendukung penjelasan umum teks tadi. Lalu, langkah kaki pun bergerak melanjutkan perjalanan melewati sebuah ruangan cukup gelap yang hanya tersinari lampu-lampu disko yang membuat pantulan gambar kosmos kita tercinta sepanjang dinding ¾ lingkaran.

                Habis gelap terbitlah terang. Ruangan berikut berisi kostum tentara yang ditanam di lantai dengan display kaca tebal, logo-logo BI dari masa ke masa yang terbuat dari kayu, diorama lengkap dengan patung-patung yang mirip kayak orang beneran(ada hal menarik : di salah satu sudut ada 2 patung yang ceritanya 2 orang berpakaian jas saling membicarakan masalah keuangan, lalu ada patung orang Cina lengkap dengan pakaian tradisional dan kumis panjangnya lagi mengambil uang dari brankas untuk diserahkan kepada 2 orang(patung) tadi itu, pertanyaan saya : kenapa harus Cina? *no SARA kwk).
Kumpulan penjelajah dunia

Baju tentara Belanda dulu

Baju tentara Jepang dulu





Kenapa harus yang ngambil harus diaaa!!


                Selanjutnya adalah Ruang pamer yang yang menceritakan perkembangan sejarah Bank Indonesia yang terbagi menjadi 5 periode.  Periode 1, Menuju Negara Modern. Menceritakan keadaan negara yang masih belia, yang baru saja merasakan hawa kemerdekaan. Namun tugas besar Bank Indonesia sebagai pengatur peredaran uang dan perbankan Indonesia telah menanti. Periode 2, Membangun Sikap Kebangsaan. Di masa ini, pembangunan ekonomi negara agak morat-marit akibat politik konfrontasi. Kebutuhan pembiayaan pembangunan sangat besar namun penerimaan sangat terbatas. Periode 3, Ekonomi Sebagai Haluan Negara. Pergantian pemerintahan ke Orde Baru membawa angin segar bagi perekonomian. Berkat cadangan devisa yang meningkat dan Bank Indonesia fokus membangun sektor profuktif untuk mengendalikan inflasi. Periode 4, Globalisasi Ekonomi: Hilangnya Batas Negara. Perekonomian melaju pesat, investasi dan pinjaman luar negeri mengalir, namun tidak diikuti dengan kehati-hatian yang semestinya. Kegemilangan ekonomi ini jatuh dalam sekejap setelah nilai tukar rupiah jatuh. Periode 5, Krisis Segala Lini. Rupiah terpukul setelah krisis nilai tukar baht. Krisis nilai tukar berubah menjadi kirisis perbankan, di mana 16 bank lalu ditutup. Rupiah semakin terpuruk pasca kerusuhan Mei 1998. Pemilu 1999 yang berjalan lancar mampu membawa dampak positif bagi penguatan rupiah. Setelah ruang pamer, saya melewati ruang pemimpin de Javasche Bank(nama dulu BI), Syafruddin Prawiranegara. Keluar dari situ, ada sebuah ruang terbuka di tengah Museum BI. Nampaknya, para karyawan sedang memasang lampu-lampu untuk sebuah acara tertentu.



                Ruangan terakhir sebelum jalan keluar adalah spot terbaik dari Museum BI ini menurut saya. Ada sebuah ruangan berisikan koleksi uang kertas dan uang logam yang pernah beredar di Indonesia dan dunia lengkap dengan deskripsi yang sangat cukup. Ada uang yang berasal dari masa kerajaan Nusantara, uang zaman kolonial Belanda dan Jepang, uang khusus yang nominalnya mencapai Rp750.000 dan Rp2.000.000, uang token dan uang lainnya. Ada kumpulan etalase tipis yang bisa ditarik-tarik yang berisi hampir mata uang dari seluruh dunia yang tersimpan dengan cara yang sangat berkelas. Oya..satu hal yang kurang menyenangkan adalah waktu kami datang bertepatan dengan study tour sebuah SD dan SMP. Jadi, harus siaplah dengan larian dan teriakan bocah SD ataupun anak SMP yang sedang mengawali masa-masa awal mencari identitas diri. Setelah puas di ruangan tersebut, kami keluar dan duduk sebentar di kursi berbentuk uang logam bulat yang bolong tengahnya (kalo yang pernah nonton Avatar the Legend of Aang pasti tau) kami pun mengambil barang titipan tadi dan keluar dari Museum BI.


***

               Jam menunjukkan pukul 14.30 lewat, hampir jam 15. Setelah Tio dan Gibran membeli cireng dan duduk sejenak, kami berencana ke Istiqlal buat sholat. Ada sebuah insiden di acara duduk-duduk ini, yaitu saat Tio ngomong “Lu mau ga, Gy”(menawarkan cireng), Ogy yang melaksanakan hal normal yang biasa dilakukan pun langsung memakan cireng. Lima menit berlalu, Tio yang menunggu cirengnya untuk dikembalikan menemukan hal-hal ganjil. “Njeg, maksudnya bagi, bukan lu ambil semua” begitulah katanya kira-kira. Ogy menjawab, “Tadi lu ngomongnya, lu mau ga?, yaudah gua mau, gua makanlah. “Sep..dasar manusia kwk. Setelah insiden cireng, kami menemui sebuah bus wisata GRATIS hibah dari Tahir Foundation(orang kaya Indonesia), yang bertuliskan monas,balai kota, dan tujuan lainnya. Saat mau naik, petugasnya bilang, “naiknya dari seberang, dek”. Yaudah, saat melihat keseberang, kirain pintunya ada dua : satu pintu masuk, satu pintu keluar. Ternyata, yang dimaksud seberang adalah seberang di depan stasiun Beos tempat awal kami melihat antrian yang lumayan panjang. Dengan muka aneh setengah malu akawkaw, kami tentu saja tidak jadi naik bus GGGGRATIS dan berjalan kaki saja ke stasiun untuk naik kereta dengan tujuan St. Juanda.

Insiden cireng

Source :
https://www.facebook.com/profile.php?id=100011072685525&ref=ts&fref=ts
https://www.facebook.com/arditio.riski?ref=ts&fref=ts

Bersambung…

No comments: